Bak angin yang tiba-tiba menyentuh dedaunan kering, kau muncul tanpa aba-aba, menawarkan sesuatu yang tak pernah aku duga: sebuah malam untuk berbagi layar dan cerita. Aku terdiam sejenak, mencoba mendengar desis hatiku sendiri. Ada gemuruh kecil yang tak bisa kusangkal—kerinduan yang selama ini kukemas rapi mulai menggeliat.
Awalnya, niat untuk menolak itu ada. Aku takut akan badai perasaan yang mungkin kembali menggulung. Namun, rindu itu terlalu besar, terlalu nyata untuk diabaikan. Akhirnya, dengan hati yang berdetak tak beraturan, aku mengiyakan. Kita pun tenggelam dalam malam, menonton dan berbicara hingga waktu merangkak ke pukul 12 malam.
Di antara tawa kecil dan jeda percakapan, ada asa yang ingin bangkit, meski ku tahu mungkin tak seharusnya. Kita berbicara tentang rencana pertemuan—sebuah hal yang kurindukan, namun juga kutakuti. Karena bagimu, mungkin ini tak lebih dari relasi profesional. Tapi bagiku, ada sesuatu yang lebih dalam, yang belum benar-benar sembuh sejak terakhir kali kita berbagi cerita.
Aku seperti pejalan yang kembali ke tempat lama, berharap menemukan jawaban atas tanya yang tak pernah selesai. Namun, tempat itu ternyata tak berubah; lukaku malah menganga lebih lebar.
Barangkali, ini bukan tentang dirimu, melainkan tentang aku yang masih memelihara harapan pada bayangan. Kau mungkin hadir dengan niat baik, namun hatiku yang belum sembuh menafsirkan itu sebagai sesuatu yang lebih.
Aku tahu aku harus melangkah maju, namun langkahku terasa berat. Jika ini jawaban dari kerinduan, mengapa rasanya malah menambah luka? Atau mungkin, ini adalah caraku menyadari bahwa rindu tak selalu harus dijawab dengan pertemuan. Ada saatnya aku harus berdamai dengan diriku sendiri, merawat luka hingga akhirnya aku benar-benar bisa melangkah pergi.
Malam itu, meski penuh tawa, adalah pengingat bahwa ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan. Seperti hujan yang tak bisa dipanggil kapan saja, perasaan juga tak selalu sejalan dengan kenyataan.
Mungkin, kerinduan ini hanya perlu dijawab oleh waktu.
0 komentar