Not even a choice
Seperti tamparan keras—membuat kita diam sejenak, menelan kenyataan yang pahit, adalah ketika aku menyadari, aku bukan siapa-siapa bagi seseorang yang pernah kupikir mungkin, hanya mungkin, melihatku lebih dari sekadar teman.
Awalnya aku berpikir, "Ya, mungkin aku bukan pilihan pertama, tapi nggak apa-apa. Kadang, menjadi pilihan kedua pun cukup asalkan ada tempat untukku di hatinya." Tapi kenyataan berbicara lain.
Hari itu biasa saja, sampai aku mendengar percakapan itu. Kebetulan dia sedang ngobrol dengan seseorang, dan aku—entah kenapa—berada di posisi yang cukup dekat untuk mendengar. Awalnya aku tidak ingin menguping, tapi suaranya dan kata-katanya seolah menarikku ke realitas yang selama ini mungkin sudah kutahu, tapi enggan kuakui.
Dia bicara tentang seseorang. Seseorang yang jelas bukan aku. Ada rasa bangga di suaranya, cara dia melebih-lebihkan setiap detail tentang perempuan itu, seperti membangun sebuah citra sempurna. Seharusnya aku senang untuknya. Seharusnya, aku bisa mendengar itu tanpa rasa sakit.
Tapi kemudian, dia menyebutkan alasannya mendekatiku.
"Aku butuh."
Hanya itu. Tidak lebih. Aku bukan seseorang yang dipilih karena keunikanku, karena ada sesuatu yang spesial di diriku. Aku hanyalah seseorang yang dibutuhkan kala itu. Aku hanyalah seseorang yang kebetulan ada di sana, memenuhkan kekosongan, atau mungkin pelarian saat keadaan dengan perempuan itu tidak seindah ceritanya.
Lalu dia menambahkan, "Dia justru yang menahanku untuk tetap di sini. Saat kupergi dengan perempuan yang kupilih, dia marah."
Aku mendengar suara lain di balik telepon yang membalas percakapannya dengan lantang, "Anjing ya"
Badanku bergetar kaku, hatiku remuk, air mataku mulai menetes deras. Aku berpikir, "Sejahat itu kah aku setelah apa yang selama ini kuperbuat?"
Aku terdiam merenung.
“Not even a choice.”
Kata-kata itu terus terulang di kepalaku. Kalau aku bukan yang pertama, bukan yang kedua, bahkan bukan bagian dari daftar pilihannya, lalu selama ini aku apa? Apakah aku hanya membangun harapan kosong di atas sesuatu yang tidak pernah nyata?
Saat itu, aku hanya bisa tersenyum pahit. Ada rasa malu pada diriku sendiri karena pernah berharap terlalu banyak. Tapi lebih dari itu, ada rasa kehilangan yang aneh—kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar kumiliki.
Aku menatap diriku di cermin. Bertanya-tanya, apa aku kurang baik? Kurang menarik? Atau memang sejak awal aku yang salah, membiarkan diriku berharap terlalu tinggi pada seseorang yang tidak pernah sungguh-sungguh peduli.
Tapi, aku menyadari satu hal.
Tidak ada yang salah denganku. Tidak ada yang perlu kuubah untuk membuat seseorang mencintaiku. Karena cinta sejati tidak pernah membutuhkan alasan sederhana seperti "butuh". Cinta sejati akan menemukanmu, menerimamu, dan menghargaimu apa adanya, tanpa perlu kamu menjadi "pilihan."
Jadi, aku memutuskan untuk berhenti berharap pada dia. Berhenti bertanya kenapa dia tidak memilihku. Sebab yang lebih penting adalah, aku memilih diriku sendiri. Tidak mudah, memang. Tapi aku tahu, tetap bertahan di tempat yang tidak ada ruang untukku hanyalah menyiksa diri.
Aku adalah cerita utamaku, bukan figuran di cerita orang lain. Dan suatu saat, aku akan menemukan seseorang yang tidak hanya memilihku, tapi yang akan membuatku merasa seperti aku satu-satunya pilihan.
Untuk sekarang, aku belajar. Melangkah. Meninggalkan. Karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan menjadi bayangan di kehidupan orang lain.
0 komentar