Aku Sendiri Di Saat Ingin Ditemani
Ada saat-saat di mana dunia terasa begitu sempit. Dinding-dinding ini semakin mendekat, seperti ingin menghimpitku hingga hilang udara. Aku duduk di tengahnya, memeluk lutut, berharap seseorang akan mengetuk pintu dan membawaku pergi. Tapi pintu itu tetap diam.
Aku ingin ditemani, tapi rasanya seperti memohon pada angin. Suara-suara yang kudengar hanyalah pantulan dari kepalaku sendiri, berputar-putar tanpa jawaban. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, berteriak sekeras mungkin, namun hanya gema yang kembali, memukul hati yang sudah retak.
Sunyi ini menggigit lebih tajam daripada pisau. Ia merayap perlahan, mengisi ruang-ruang kosong di dalam diri, hingga tak tersisa apa-apa selain kehampaan. Aku ingin melawan, tapi tubuhku terlalu lelah, dan hatiku terlalu dingin.
Ada bayangan yang terus memanggilku, mengundangku masuk ke dalam pelukan gelapnya. Ia menjanjikan keheningan abadi, bebas dari sakit, bebas dari rasa kehilangan yang tak kunjung berhenti. Bayangan itu tampak seperti sahabat lama, satu-satunya yang setia menemaniku di saat tak ada yang lain.
Tapi bahkan dalam keputusasaan ini, ada sesuatu yang menahan langkahku. Mungkin rasa takut. Mungkin sisa harapan yang nyaris mati. Atau mungkin aku hanya terlalu terbiasa dengan rasa sakit ini, hingga aku tak tahu bagaimana cara benar-benar melepaskannya.
Aku tetap di sini, duduk di antara dinding-dinding sepi. Menunggu sesuatu, atau seseorang, yang bisa menarikku kembali ke dunia. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin aku merasa bahwa dinding-dinding ini adalah satu-satunya tempatku.
Mungkin, jika aku menyerah, sunyi ini akan berhenti menyiksaku. Atau mungkin aku hanya akan menjadi bagian dari sunyi itu selamanya.
1 komentar
Kakkk, are you ok???
ReplyDelete