Penggunaan Bahasa Gaul terhadap Kaidah Kebahasaan di Kalangan Remaja
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak bahasa
daerah. Menurut data dari Ethnologue, Indonesia memiliki 726 bahasa yang
dituturkan oleh berbagai etnis di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun di setiap
daerah penggunaan bahasanya berbeda, tetapi mereka dapat berkomunikasi dengan
baik satu sama lain menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Mengingat
makna dari salah satu isi Sumpah Pemuda yaitu “Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Makna tersebut harus dijunjung tinggi sebagai ikrar
janji persatuan bangsa termasuk di kalangan remaja. Lantas di era globalisasi
dan teknologi seperti saat ini, bagaimana para remaja berbahasa?
Penggunaan bahasa Indonesia di kalangan remaja saat ini
hampir tidak ada yang menggunakannya dengan benar. Dalam pergaulan anak muda,
mereka cenderung tidak memperhatikan bahasa apa yang mereka gunakan,
seakan-akan bahasa Indonesia sudah mulai pudar dan tergantikan oleh bahasa asing
dan gaul yang menurut mereka cocok dipakai di era sekarang. Tak jarang para remaja
lebih fasih menggunakan bahasa tersebut dibandingkan dengan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Mereka beranggapan bahwa dengan menggunakan
bahasa asing dan gaul, maka mereka akan dianggap sebagai anak muda yang
kekinian, keren, dan tidak gagap teknologi.
Bahasa gaul yang
dipakai saat ini mungkin sudah tidak asing lagi didengar bagi kita. Terlepas
dari berbagai alasan, bahasa gaul ini bahkan bisa sangat mendarah daging di
suatu daerah, misalnya di Jakarta. Kita semua tau, daerah tersebut sudah lama
menjadi trendsetter bagi para pemuda dalam berbahasa gaul. Tidak hanya di
daerah metropolitan yang menggunakan bahasa gaul, bahkan berbagai daerah lain
di Indonesia pun ikut merambah akan
fenomena bahasa gaul tersebut. Hal ini cukup memprihatinkan
bagi bangsa Indonesia. Jika dari bahasa Indonesia saja kurang di banggakan oleh
rakyatnya, maka bagaimana bangsa Indonesia akan mengembangkan kekayaan lain
yang dimilikinya.
Beberapa waktu ini,
ada fenomena yang ramai diperbincangkan yaitu penggunaan bahasa anak Jakarta
Selatan atau yang lebih dikenal dengan Jaksel. Situs Spreadfast mencatat ada
lebih dari 52.000 tweet mengenai ‘anak Jaksel’ maupun dengan tagar #anakjaksel
di Twitter sepanjang dua pekan pertama pada September 2018. Contoh penggunaan
kalimatnya adalah “To be honest, sejujurnya gua selama ini tahu even dia enggak
pernah bilang. Which sebenernya literally gua kek have feel,...” Berdasarkan
gaya ini, seseorang menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa
Inggris dalam percakapannya. Hal itu menjadi identitas tersendiri yang justru
menjadi lelucon di sosial media.
Menurut salah
seorang pakar linguistik Universitas Indonesia, Bernadette, fenomena ini adalah
risiko kontak bahasa. “Hal ini tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi
setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa gaul, dan berbagai macam bahasa lain
yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari. Di satu sisi
kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi
disisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal maka pada situasi
tertentu kita akan menjadi terasing.” kata Bernadette saat dihubungi BBC News
Indonesia.
Sedangkan menurut
Psikolog Klinis Kasandra Putranto, menilai jika gaya bahasa ala anak Jaksel
digunakan sebagai metode atau cara belajar bahasa Inggris. Menurutnya jika gaya
bahasa campuran itu masuk dalam tren remaja, ada kemungkinan hasil imitasi dari
tindakan orang lain. “Artinya mungkin banyak artis, idola, atau figur panutan
mereka yang sudah go internasional,” kata Kasandra kepada reporter Tirto.
Tindakan meniru tersebut merupakan gejala umum karena pemilihan figur panutan
tiap kelas sosial berbeda. Maka bisa dikatakan bahwa penggunaan bahasa anak
Jaksel juga ditujukan untuk menunjukkan status dan posisi sosial. Seharusnya
bahasa tersebut jangan dicampur-campur demi menjaga bahasa Indonesia, ucap
Kasandra.
Globalisasi
mungkin bisa dijadikan alasan tepat untuk menjawab fenomena penggunaan gaya
bahasa anak Jaksel. Situasi ini yang membuat orang lupa akan bahasanya sendiri,
akibatnya bahasa Indonesia seolah-olah menjadi tidak bernyawa. Adanya
globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai, menjunjung tinggi, dan
menjaga keaslian bahasa Indonesia. Sebab, bahasa Indonesia merupakan jati diri
dan sebagai bahasa pemersatu. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan bahwa
‘bahasa menunjukkan bangsa’. Jika bangsa Indonesia tidak menjaga keaslian
bahasanya, maka lambat laun warisan nenek moyang ini akan terkuras oleh waktu.
Sebenarnya
penggunaan bahasa anak Jaksel bisa dikatakan positif jika pemakai bahasa
tersebut memahami pada konteks apa mereka harus menggunakan bahasa baku, dan
kapan boleh menggunakan bahasa gaul yang dicampur dengan bahasa asing. Selain
itu, percampuran bahasa asing dalam komunikasi juga dapat melatih kosakata
perbendaharaan bahasa. Namun, secara tidak langsung hal ini dapat mempersempit
dan membuat malas orang asing yang berada di Indonesia untuk mempelajari dan
mendalami bahasa Indonesia itu sendiri, karena mereka menganggap masyarakat
Indonesia saja lebih senang berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Hal ini
dapat membuat lunturnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Masalah utama yang
dihadapi dalam percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing adalah pada
diri masing-masing atau lebih dikenal dengan psikologi. Remaja berpikir bahwa
hal seperti itu dianggap lumrah dan keren. Namun, jika kita cermati lebih
dalam, bahasa yang seperti itu akan merugikan jika terus-menerus dipakai,
karena bahasa tersebut bukanlah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, melainkan
gaya bahasa yang tren dan dianggap kekinian. Maka, cara yang paling tepat
adalah memberikan pengertian kepada remaja untuk dapat membedakan konteks
pemakaian bahasa. Salah satunya mewajibkan penggunakan bahasa Indonesia saat
berada di sekolah atau dalam suasana formal.
Sebagai contoh
kita lihat negara di Asia Timur Tengah, Arab Saudi, Irak, dan sebagainya.
Mereka menggunakan bahasa Arab dengan kental dan tidak bercampur dengan bahasa
negara lain. Hal ini membuktikan bahwa adanya penghormatan serta penghargaan
terhadap identitas asli mereka. Maka dari itu, seharusnya kita mencontoh negara
tersebut yaitu dengan lebih peduli lagi terhadap bahasa Indonesia. Minimal
tidak mencampur adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Bukan berarti kita
tidak harus mempelajari bahasa asing, melainkan menggunakan bahasa tersebut
tepat pada tempatnya, karena remaja sebagai generasi penerus yang nantinya
mengajarkan cara berbahasa yang santun kepada generasi berikutnya yaitu
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Seviola Angely Arifia Putri
0 komentar