Pahit

by - April 07, 2020

Walaupun ada yang bilang jangan pernah melupakan masa lalu, tapi rasanya ingin sekali menghapus semua memori tentangnya. Aku ingin memulainya kembali, karena masa laluku tak pantas untuk diungkit lagi, tak ada rasa, basi. Sekadar berkaca untuk pembelajaran kedepan agar menjadi pribadi yang baik. Baik bagiku, bagi orang lain, dan baginya.
Seseorang duduk disampingku dan bertanya, susah move on atau gagal move on? Gak bisa milih, sulit, abstrak kataku. Yang jelas, bisa jadi. Hampir semua orang akan merasakan fase ini, susah banget melupakan seseorang. Yang sudah lama memiliki atau bahkan sekadar mengagumi. Dari move on aku belajar menghargai waktu dan seseorang. Aku mulai berdiskusi. Melepas keresahan setelah melewati hari-hari menjadi seorang yang dewasa. Terlalu memikirkan untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya, hingga lupa untuk menjadi diriku sendiri.
“Sudahlah, capek ngejar sesuatu yang tak pasti. Gak akan ada kata habis untuk menjadi yang terbaik di mata manusia. Biarkanlah semesta melakukan tugasnya. Nanti waktu juga akan memberitahumu. Rehatlah sejenak, kita duduk di persimpangan, capek berjalan terus. Jangan menunggu yang tak pasti. Ada kalanya jika sama-sama nunggu, gak akan ketemu. Namun, jangan pernah lupa bahwa ada seseorang di ujung sana yang sedang menunggumu. Bisa jadi orang yang kau pikirkan itu, bisa juga orang lain.” Orang itu berbicara padaku sambil memberiku secangkir kopi.
Waktu itu aku sudah mempersiapkan diri. Memakai pakaian yang terbaik, berencana menemuinya dengan alasan mendiskusikan hal tersebut. Namun jiwa ini lemah akan keberanian, hanya bisa berangan. Karena semesta pun tak mendukungku untuk mulai berjuang. Seandainya aku tahu siapa yang diujung, sudah pasti aku berlari untuk mengejarnya. Mengungkapkan perasaan yang ku pendam selama ini, namun aku tak berani.
“Jadilah orang yang berani mengungkapkan perasaan,” kata seseorang yang memberi kopi padaku tadi.
Lalu aku bertanya, “Semesta?”
“Jangan hiraukan! Jika ada kesempatan cobalah berjuang! Jangan sampai waktu memisahkan. Coba lihat, rasakan, sekiranya punya frekuensi yang sama gak?” katanya dengan penuh pasti.
Mendengar perkataan orang itu, akhirnya aku tahu kenapa dia menjauh. Ternyata sudah tidak satu frekuensi. Waktu terus berjalan hingga kesempatan itu telah hilang. Momen itu sudah menjadi kenangan yang pahit. Mengungkapkan? Rasanya sudah tidak mungkin lagi.
“Kenapa tak mungkin? Apa kamu sudah melupakannya? Jika belum, kembalilah!” lagi-lagi dia melontarkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
“Mau kembali gimana? Dia seakan telah menutup jalannya untukku,” aku tertunduk. Orang itu memberiku saran agar mencari kunci dan mencoba membuka pintu yang lain. Tapi entahlah. Mungkin aku lebih memilih untuk menunggu pintu tersebut. Bertahan, tanpa kepastian. Mungkin aku akan merasakan pahitnya seketika. Namun ketika merasakannya pasti akan muncul rasa manis walau hanya tersirat.
Dengan lantang dia berkata, “Jangan bodoh, siapa di dunia ini yang siap menelan kepahitan?”
Aku akan memberinya sentuhan gula, jadi akulah yang siap menelan kepahitan itu. Anggaplah ini sebagai irama nada yang indah.
Seketika aku mendengar suara pintu yang mulai terbuka. Kesabaranku selama ini seakan terbayar, inilah saatnya melepaskan penantian yang sudah lama aku jaga. Bersiap menerimanya dan berharap bisa bahagia selamanya. Akhirnya dia yang ku nantikan datang, senyumnya yang manis dan pancaran wajahnya seolah memberiku pertanda. Langkah demi langkah mengiringi perasaanku yang penuh harap. Namun sepertinya ada yang berbeda, seseorang menggenggam tangannya. Dan benar, apa yang ku takutkan terjadi juga. Aku menatapnya dengan mata yang sayu, tak bisa berkata-kata, pikiranku kacau, dan perasaanku mulai hancur. Mereka berjalan keluar dan berhenti di depanku, dia mulai angkat bicara tapi aku memotongnya dan berkata, “Stop, cukup! Aku tau memang aku yang terlalu bodoh melakukan semua ini. Aku baik-baik saja. Penantianku telah memberiku pelajaran hidup yang begitu berharga. Jadi kau tak perlu minta maaf. Terimakasih untuk hari-hari kemarin. Meski harapanku untuk selalu bersamamu hanya sebatas angan, tapi aku telah mencapai misiku yaitu menyaksikanmu tersenyum bahagia.”

Nukilan by OL & MH.

You May Also Like

2 komentar

  1. Terharu banget mbak. Sering sering upload obrolan gini y

    ReplyDelete