Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dimengerti dengan rasa. Seperti bagaimana aku yang sempat mati-matian belajar melepaskan, akhirnya kembali pada seseorang yang dulu paling sering kuceritakan dalam doa dan tulisan.
Orang lama.
Dia yang pernah begitu dekat, kemudian menjadi asing. Lalu entah bagaimana, semesta menggiring langkah kami saling bersinggungan. Bukan dengan cara yang megah, bukan dengan drama yang hebat, tapi diam-diam saja. Pelan, seperti tetes hujan pertama setelah kemarau panjang.
Aku sempat berpikir, apa ini bentuk dari lelah mencari? Atau ini memang arah pulang yang tertunda? Dan sekarang, ia kembali. Bukan sebagai pengunjung sementara, tapi sebagai seseorang yang siap menetap.
Kami pernah diam dalam ruang yang berbeda, sibuk dengan luka dan pelajaran hidup masing-masing. Tapi waktu, dengan segala kebijaksanaannya, mempertemukan kami lagi. Bukan untuk mengulang yang dulu, melainkan menulis ulang dengan lembar baru.
Waktu berjalan, kami tumbuh. Mungkin tak lagi seperti versi dulu, yang penuh keraguan dan ego. Kini, kami bicara lebih banyak soal pemahaman, tentang bagaimana saling tenang itu jauh lebih penting daripada sekadar merasa dicintai.
Dulu, aku sering menulis tentangnya. Tentang rindu yang tak pernah selesai, tentang luka yang tak pernah betul-betul sembuh. Tapi sekarang, tulisan ini hadir bukan untuk mengenang kesakitan. Ini tentang keikhlasan yang membawa pulang, tentang kesempatan kedua yang tak semua orang dapatkan.
Kali ini, bukan hanya aku yang menyediakan ruang, tapi dia juga membawa atap untuk kita tinggali bersama kelak. Bukan janji manis yang ia ucapkan, tapi arah yang ia tunjukkan. Bukan rayuan yang membuatku percaya, tapi cara ia memeluk niat baiknya.
Kami tak lagi bicara soal "andai", melainkan tentang "bagaimana" dan "kapan". Kami tak lagi memaksakan peran, tapi saling menerima bentuk cinta yang kadang tak sempurna, tapi nyata.
Dan kalau dulu aku menyimpan harap dengan ketakutan, sekarang aku menaruhnya dengan harapan yang baru, harapan yang ia jaga bersamaku.
Mungkin ini bukan tentang kembali, tapi tentang melanjutkan. Bukan mengulang cerita lama, tapi menuliskan akhir yang berbeda.
Doakan kami. Agar langkah ini, yang penuh niat baik, bisa sampai pada satu kata yang lama kami doakan diam-diam: selamanya.