Penggunaan Bahasa Gaul terhadap Kaidah Kebahasaan di Kalangan Remaja

by - February 21, 2019


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak bahasa daerah. Menurut data dari Ethnologue, Indonesia memiliki 726 bahasa yang dituturkan oleh berbagai etnis di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun di setiap daerah penggunaan bahasanya berbeda, tetapi mereka dapat berkomunikasi dengan baik satu sama lain menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Mengingat makna dari salah satu isi Sumpah Pemuda yaitu “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Makna tersebut harus dijunjung tinggi sebagai ikrar janji persatuan bangsa termasuk di kalangan remaja. Lantas di era globalisasi dan teknologi seperti saat ini, bagaimana para remaja berbahasa?
Penggunaan bahasa Indonesia di kalangan remaja saat ini hampir tidak ada yang menggunakannya dengan benar. Dalam pergaulan anak muda, mereka cenderung tidak memperhatikan bahasa apa yang mereka gunakan, seakan-akan bahasa Indonesia sudah mulai pudar dan tergantikan oleh bahasa asing dan gaul yang menurut mereka cocok dipakai di era sekarang. Tak jarang para remaja lebih fasih menggunakan bahasa tersebut dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka beranggapan bahwa dengan menggunakan bahasa asing dan gaul, maka mereka akan dianggap sebagai anak muda yang kekinian, keren, dan tidak gagap teknologi.
Bahasa gaul yang dipakai saat ini mungkin sudah tidak asing lagi didengar bagi kita. Terlepas dari berbagai alasan, bahasa gaul ini bahkan bisa sangat mendarah daging di suatu daerah, misalnya di Jakarta. Kita semua tau, daerah tersebut sudah lama menjadi trendsetter bagi para pemuda dalam berbahasa gaul. Tidak hanya di daerah metropolitan yang menggunakan bahasa gaul, bahkan berbagai daerah lain di Indonesia pun ikut merambah  akan fenomena bahasa gaul tersebut. Hal ini cukup memprihatinkan bagi bangsa Indonesia. Jika dari bahasa Indonesia saja kurang di banggakan oleh rakyatnya, maka bagaimana bangsa Indonesia akan mengembangkan kekayaan lain yang dimilikinya.
Beberapa waktu ini, ada fenomena yang ramai diperbincangkan yaitu penggunaan bahasa anak Jakarta Selatan atau yang lebih dikenal dengan Jaksel. Situs Spreadfast mencatat ada lebih dari 52.000 tweet mengenai ‘anak Jaksel’ maupun dengan tagar #anakjaksel di Twitter sepanjang dua pekan pertama pada September 2018. Contoh penggunaan kalimatnya adalah “To be honest, sejujurnya gua selama ini tahu even dia enggak pernah bilang. Which sebenernya literally gua kek have feel,...” Berdasarkan gaya ini, seseorang menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris dalam percakapannya. Hal itu menjadi identitas tersendiri yang justru menjadi lelucon di sosial media.
Menurut salah seorang pakar linguistik Universitas Indonesia, Bernadette, fenomena ini adalah risiko kontak bahasa. “Hal ini tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa gaul, dan berbagai macam bahasa lain yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari. Di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi disisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing.” kata Bernadette saat dihubungi BBC News Indonesia.
Sedangkan menurut Psikolog Klinis Kasandra Putranto, menilai jika gaya bahasa ala anak Jaksel digunakan sebagai metode atau cara belajar bahasa Inggris. Menurutnya jika gaya bahasa campuran itu masuk dalam tren remaja, ada kemungkinan hasil imitasi dari tindakan orang lain. “Artinya mungkin banyak artis, idola, atau figur panutan mereka yang sudah go internasional,” kata Kasandra kepada reporter Tirto. Tindakan meniru tersebut merupakan gejala umum karena pemilihan figur panutan tiap kelas sosial berbeda. Maka bisa dikatakan bahwa penggunaan bahasa anak Jaksel juga ditujukan untuk menunjukkan status dan posisi sosial. Seharusnya bahasa tersebut jangan dicampur-campur demi menjaga bahasa Indonesia, ucap Kasandra.
Globalisasi mungkin bisa dijadikan alasan tepat untuk menjawab fenomena penggunaan gaya bahasa anak Jaksel. Situasi ini yang membuat orang lupa akan bahasanya sendiri, akibatnya bahasa Indonesia seolah-olah menjadi tidak bernyawa. Adanya globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai, menjunjung tinggi, dan menjaga keaslian bahasa Indonesia. Sebab, bahasa Indonesia merupakan jati diri dan sebagai bahasa pemersatu. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘bahasa menunjukkan bangsa’. Jika bangsa Indonesia tidak menjaga keaslian bahasanya, maka lambat laun warisan nenek moyang ini akan terkuras oleh waktu.
Sebenarnya penggunaan bahasa anak Jaksel bisa dikatakan positif jika pemakai bahasa tersebut memahami pada konteks apa mereka harus menggunakan bahasa baku, dan kapan boleh menggunakan bahasa gaul yang dicampur dengan bahasa asing. Selain itu, percampuran bahasa asing dalam komunikasi juga dapat melatih kosakata perbendaharaan bahasa. Namun, secara tidak langsung hal ini dapat mempersempit dan membuat malas orang asing yang berada di Indonesia untuk mempelajari dan mendalami bahasa Indonesia itu sendiri, karena mereka menganggap masyarakat Indonesia saja lebih senang berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Hal ini dapat membuat lunturnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Masalah utama yang dihadapi dalam percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing adalah pada diri masing-masing atau lebih dikenal dengan psikologi. Remaja berpikir bahwa hal seperti itu dianggap lumrah dan keren. Namun, jika kita cermati lebih dalam, bahasa yang seperti itu akan merugikan jika terus-menerus dipakai, karena bahasa tersebut bukanlah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, melainkan gaya bahasa yang tren dan dianggap kekinian. Maka, cara yang paling tepat adalah memberikan pengertian kepada remaja untuk dapat membedakan konteks pemakaian bahasa. Salah satunya mewajibkan penggunakan bahasa Indonesia saat berada di sekolah atau dalam suasana formal.
Sebagai contoh kita lihat negara di Asia Timur Tengah, Arab Saudi, Irak, dan sebagainya. Mereka menggunakan bahasa Arab dengan kental dan tidak bercampur dengan bahasa negara lain. Hal ini membuktikan bahwa adanya penghormatan serta penghargaan terhadap identitas asli mereka. Maka dari itu, seharusnya kita mencontoh negara tersebut yaitu dengan lebih peduli lagi terhadap bahasa Indonesia. Minimal tidak mencampur adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Bukan berarti kita tidak harus mempelajari bahasa asing, melainkan menggunakan bahasa tersebut tepat pada tempatnya, karena remaja sebagai generasi penerus yang nantinya mengajarkan cara berbahasa yang santun kepada generasi berikutnya yaitu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Seviola Angely Arifia Putri

You May Also Like

0 komentar